
Saya selalu kagum dengan pejuang kemanusiaan Pak Daniel Alexander. Dimana kepedulian pada sesama diwujudkan salah satunya dengan membangun sebuah rumah sakit yang dinamai “Rumah Sehat” di pedalaman Papua. Orang yang datang-pun memiliki harapan karena datang ke rumah sehat bukan rumah sakit.
Lalu pernah pula saya membaca kisah nyata seorang ibu yang harus melahirkan di Jepang. Boro – boro setelah melahirkan dilayani bak ratu seperti di Indonesia, si ibu harus bisa bangun dari tempat tidurnya dan melakukan aktivitas penunjang kebutuhannya dan bayi-nya tanpa bantuan keluarga lain, hanya suami yang diijinkan, itupun tetap mengikuti jam kunjungan.
Lalu cerita mas bojo tentang salah seorang kenalan yang dia tau sedang dirawat karena kanker di Penang – Malaysia. Rumah sakit yang menerapkan aturan, selama pasien masih bisa bangkit dari tempat tidur, ngga ada kata “opname”. Kemoterapi dilakukan “one day theraphy”, dimana pasien langsung pulang dalam waktu 1 hari saja.
Kesamaan dari 3 kisah nyata diatas apa sih? Ya betul, membentuk pola pikir yang positif tentang diri, bahwa sesakit apapun pasien dibentuk persepsi-nya tentang diri yang masih berdaya.
Sekarang saya-pun bisa bersyukur keadaan sakit antara 2-3 tahun lalu dan tetap harus mandiri ternyata membuat saya menjadi berdaya. Meskipun ngga begitu jauh dari keluarga, mereka punya kesibukan sendiri yang tidak memungkinkan saya bergantung sepenuhnya. Mau ngga mau saya tetap harus mengurus keluarga kecil saya. Hal itu mencambuk saya untuk taat dan konsekuen pada pola makan dan pola hidup yang saya pilih. Meskipun “bergelar” sakit, saya perintahkan diri ngga boleh sampai terkapar.
Pagi saya tetap bangun urus anak – anak, siapkan mereka sekolah dan suami kerja. Siang harus tetap jemput mereka. Tetap berjibaku dengan pekerjaan rumah dan aktivitas lain. Menyempatkan diri tidur siang dan menyisihkan waktu untuk diri sendiri guna me-recharge kekuatan raga dan jiwa.
Jadi apa sakit ngga boleh beristirahat? Tentu harus dong, sakit adalah alarm yang memberitahukan ada masalah dengan tubuh dan beristirahat adalah langkah pertama untuk “mematikan alarm” sebelum memperbaiki pola makan.
Maksud saya, bicara tentang sakit yang memerlukan waktu panjang untuk pemulihan. Jika tubuh mampu, ajaklah terus beraktivitas seperti biasa. Setting pikiran bahwa kita masih berdaya. Jangan melow alias “nggrentes” orang jawa bilang, jangan mikir “mati” toh dengan kita nggrentes atau tidak, kalo Tuhan bilang waktunya mati mah tetep aja mati. Dan jangan lupa tetap memperhatikan kapan beraktivitas dan beristirahat.
Seringkali, yang membuat kita sulit meraih kesembuhan adalah karena kita terlalu mengijinkan diri untuk tercenung menikmati sakit, menyalahkan Tuhan, membandingkan kesehatan orang lain yang prima, sakit hati dengan lingkungan yang seolah – olah tidak peduli, tergesa pengen sembuh, tidak menikmati proses, etc etc, etc. Pada akhirnya saya bisa ngomong, seperti juga bakso lebih enak dinikmati dengan sambal dan kecap, penyakit-pun lebih ringan dinikmati bersama aktivitas.
Karena berdaya atau tidak, dimulai dari pikiran.
RELATED POSTS
View all