
Tok…tok….tok…ketuk kayu sepatumu.
Wajah pongah, dagu terangkat, langkah tegap.
Tergopoh pelayan mengikuti gerakmu.
Kaki menyilang, kilau kulit terawat menusuk.
“Pelayan, hidangkan yang termewah, terlezat..!”
Bersimpuh berteman dingin marmer putih jelita.
Ibu jari beradu dengan telunjuk. Sebesar itu lebih dari cukup menjepit remah – remah yang tercecer dari kemewahan.
Bahkan si setia, ikut berpesta, menjilat diatas luka. Perih. Pedih. Lalu mati.
Semua mati.
“Sang Agung, tolong mintalah pengemis itu, meneteskan sedikit air untukku, panas…panas…disini sangat panas..”
Biarkanlah dia menikmati keteduhannya.
“Sang Agung, bukankah dia ikut menikmati makananku disana?”
Dia menjumput yang terbuang.
“Sang Agung, aku menyesal, beritahukanlah pada mereka, berbaik – baiklah”
Buku kehidupan terbuka ‘nak, biarlah yang bijak mendengar.

RELATED POSTS
View all